![INTELEGENSI
GAYA BELAJAR
KEPRIBADIAN
&
TEMPERAMEN
STATUS SOSIAL
EKONOMI
RASETNIK
BAHASA
AGAMA
BUDAYA
KERAGAMAN
SISWA](http://image.slidesharecdn.com/keragamansiswa-131002184930-phpapp01/95/keragaman-siswa-2-638.jpg?cb=1380739835)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada proses pembelajaran, guru tidak
cukup hanya dengan menyampaikan materi pelajaran saja atau yang biasa disebut
dengan transfer ilmu. Sebab, di dalam pembelajaran atau pendidikan, ada aspek
penilaian yang harus dilakukan guru terhadap siswanya yaitu aspek kognitif,
aspek afektif, dan aspek psikomotor. Oleh karena itu, demi terwujudnya tujuan
belajar dengan hasil yang optimal, guru perlu mengenal masing-masing siswa,
dimana setiap siswa merupakan makhluk yang unik, secara lebih dekat. Untuk
dapat mengenal siswa lebih dekat maka guru perlu mengetahui hal-hal apa saja
yang membedakan siswa satu dengan siswa yang lainnya. Untuk itu, guru sangat
perlu untuk memahami materi mengenal individu siswa supaya kelak ketika menjadi
guru dapat dengan tepat menentukan materi, metode, dan tehnik penyampaian
materi yang sesuai dengan kondisi siswa yang beragam di kelas dengan harapan
tujuan belajar dapat terwujud dengan hasil yang optimal.
B.
Rumusan
Masalah
Apa yang dimaksud dengan Student Diversity
(keragaman siswa) & Gaya Belajar?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah
untuk memberikan pemahaman kepada guru maupun calon guru, serta teman-teman, tentang
keragaman siswa dan gaya belajar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Keberagaman Siswa
Keberagaman peserta didik dalam belajar terbagi dalam 8 (delapan) jenis,
diantaranya meliputi kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematik, kecerdasan
spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis (Gardner, 1983). Berbicara
kemampuan yang dimiliki seseorang tak dapat dilepaskan dari kenyataan yang
terjadi di dalam masyarakat. Di mana seseorang disebut sukses, apabila hidup
dengan harta berlimpah, memiliki fasilitas lengkap untuk melakukan aktivitas
apa saja yang disukai. Namun ukuran sukses bagi seorang siswa adalah bila nilai
mata pelajaran yang diujikan secara nasionalnya berada diatas kriteria. Memang
ukuran idealnya sukses bukan hanya diukur dengan nilai mata pelajaran yang
diujikan secara nasional saja, akan tetapi juga karena kemampuan mengelola
emosi dan mental spiritualnya. Tak dapat disangkal kecerdasan intelektual dapat
menentukan kelulusan seorang siswa, tetapi bila tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapi kegagalan, tetap saja berbahaya bagi kelangsungan hidupnya di masa
depan. Belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian penting, tetapi yang
jauh lebih penting adalah persiapan mental spiritualnya. Belajar dan berdoa.
Sebagai pendidik yang
kebetulan bukan termasuk penyaji materi pelajaran yang di ujikan secara
nasional, penting kiranya mengetahui bakat siswa yang memiliki kelemahan dalam
salah satu pelajaran yang diujikan secara nasional, akan tetapi istimewa untuk
salah satu pelajaran non nasional. Letak pentingnya adalah, perhatian guru
terhadap siswa sangat mempengaruhi motivasi pribadi siswa. Terutama bila siswa
merasa respek dengan guru tadi. Mengingat dalam keseharian siswa perlu tokoh
yang dijadikan pola anutan untuk mempersiapkan masa depannya. Siswa perlu
mengetahui, bahwa dirinya sangatlah berarti di mata Sang Pencipta. Menyadarkan
siswa akan potensi dirinya, diperlukan kearifan pendidik. Pendidik ataupun
orangtua sebagai pendidik pertama dan utama, perlu melakukan upaya yang dapat
mengembangkan potensi siswa secara maksimal. Bakat yang dimiliki anak perlu
kita cermati dengan jeli dan penuh perhatian. Siswa sebagai pribadi yang unik,
dengan bakat dan minat tentu berbeda satu dengan yang lain.
1. Inteligensi
Kata inteligensi adalah kata yang berasal
dari bahasa latin yaitu “inteligensia“. Sedangkan kata “inteligensia“
berasal dari kata inter dan lego, “inter”
berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada
mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap
fakta atau kebenaran.
Inteligensi berasal dari kata latin
“intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to
organize, to relate, to bind together). Masyarakat umum mengenal
inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun
kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi.
Inteligensi adalah keahlian
memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari,
pengalaman hidup sehari-hari. Minat terhadap inteligensi sering kali difokuskan
pada perbedaan individual dan penilaian individual.
A. Definisi Inteligensi Menurut Para
Ahli
1. Inteligensi Menurut Alfred Binet (1857-1911) & Theodore
Simon, inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu
kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan untuk mengubah
arah tindakan bila tindakan itu telah dilaksanakan, dan kemampuan untuk
mengritik diri sendiri (autocriticism).
2. Anita E. Woolfolk (1995)
mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, inteligensi itu meliputi tiga
pengertian, yaitu : (1). Kemampuan untuk belajar. (2). Keseluruh pengetahuan
yang di peroleh. (3). Kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan
situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Selanjutnya,
Woolfolk mengemukakan inteligensi itu merupakan satu atau beberapa
kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan
masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
3. David Wechsler, intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak
secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara
efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu
kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena
itu, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung,
melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan
manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
4. Lewis Madison Terman pada tahun
1916 mendefinisikaninteligensi sebagai kemampuan seseorang
untuk berpikir secara abstrak.
5. H. H. Goddard pada tahun
1946 mendefinisikan inteligensisebagai tingkat kemampuan pengalaman
seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan untuk
mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.
6. V.A.C. Henmon mengatakan
bahwa inteligensi terdiri atas dua faktor, yaitu
kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengetahuan yang telah diperoleh.
8. Edward Lee Thorndike (1874-1949)
tahun 1913 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan dalam
memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta.
9. George D. Stoddard pada tahun
1941 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
memahami masalah-masalah yang bercirikan mengandung kesukaran, kompleks,
abstrak, ekonomis, diarahkan pada suatu tujuan, mempunyai nilai sosial, dan
berasal dari sumbernya.
10. Walters dan Gardber pada tahun
1986 mendefinisikan inteligensi sebagai suatu kemampuan atau
serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah,
atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.
11. Flynn pada tahun 1987
mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
berpikir secara abstrak dan kesiapan untuk belajar dari pengalaman.
12. Santrock
pada tahun 2008 mendefinisikan intelegensi adalah keterampilan menyelesaikan
masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup
sehari-hari.
B. Faktor yang mempengaruhi
kecerdasan
Faktor yang mempengaruhi kecerdasan
yaitu:
a.
Faktor Bawaan atau Biologis
Dimana
faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan
atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh
faktor bawaan.
b.
Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas
Dimana minat
mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu.
c.
Faktor Pembentukan atau Lingkungan
Dimana
pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi
perkembangan inteligensi.
d.
Faktor Kematangan
Dimana tiap
organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
e.
Faktor Kebebasan
Hal ini
berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang
dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah
yang sesuai dengan kebutuhannya.
C. Kecerdasan Emosional
Emotional Intelligence atau
sering disebut Emotional Quotient (EQ) adalah kecerdasan emosional yang
mencakup kesadaran diri, pengendalian dorongan hati, ketekunan, semangat atau
motivasi diri, empati, dan kecakapan sosial.
Menurut Goleman,
emotional intelligence terdiri dari 4 area :
- Developing
emotional, seperti : kemampuan untuk memisahkan perasaan dari
tindakan.
- Managing
emotions, seperti : mampu untuk mengendalikan amarah.
- Reading emotions,
seperti : memahami perspektif orang lain.
- Handing relationships,
seperti : kemampuan untuk memecahkan problem hubungan.
Sebelumnya sudah banyak penelitian
tentang kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan intelektual bisa diukur,
ditunjuk dengan score-score tertentu, apakah tinggi, sedang, jenius,
diatas rata-rata atau dibawah rata-rata. Jelas bahwa kecerdasan
intelektual (IQ) yang tinggi berbicara tentang kemampuan minat
intelektual yang dapat kita ramalkan. Sedangkan kecerdasan emosi (EQ) yang
tinggi berbicara menggenai tidak mudah takut ataupun gelisah, mudah bergaul,
mampu melibatkan diri dengan orang lain atau dengan permasalahan, tanggung
jawab dan simpatik, erat dalam hubungan social.
Daniel Goleman mengungkapkan mengapa
orang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang menjadi berhasil.
Hal ini disebabkan oleh satu faktor penting, yang selama ini selalu diabaikan,
yaitu faktor EQ. Kecerdasan emosional ini memiliki ciri-ciri yang menandai
orang yang menonjol dalam hubungan interpersonal yang dekat dan hangat,
penyesuaian dan pengendalian diri yang baik (dalam hal emosi, perasaan,
frustrasi), menjadi bintang di pergaulan linkungan sosial dan dunia
kerja. Seandainya seorang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah maka
dia akan mengalami kesulitan bergaul (sulit berteman), kesulitan mendapat
pekerjaan, kesulitan perkawinan, kecanggungan mendidik anak, memburuknya
kesehatan, dan akhirnya menghambat perkembangan intelektual dan menghancurkan
karir. Barangkali kerugian terbesar diderita oleh anak-anak, yaitu dapat
terjerumus stres, depresi, gangguan makan, kehamilan yang tak diinginkan,
agresivitas, dan kejahatan dengan kekerasan.
Dalam lingkungan sosial, orang yang
berhasil belum tentu orang yang waktu masih sebagai siswa yang mempunyai nilai
sekolah yang baik sekali, juga belum tentu yang keluaran dari sekolah
favourit/terkenal. Mereka yang berhasil adalah kebanyakan dari mereka yang
dalam memanfaatkan dan mengembangkan faktor EQ dalam hubungan sosial. Seperti :
penghargaan satu dengan yang lainnya, kesadaran diri, pengendalian diri,
kesabaran, sikap halus (lembut), optimistik, dan lain-lain. Disini digunakan
kata memanfaatkan dan mengembangkan seperti disebutkan diatas karena EQ itu
selain dipengaruhi oleh faktor keturunan (nature) juga dipengaruhi oleh faktor
belajar/setelah lahir (nurture).
Satu hal yang menggembirakan ini
adalah bahwa EQ itu dapat dikembangkan, dipupuk, dan diperkuat dalam diri kita
semua. Oleh karena itu, kita bisa berusaha meningkatkan kecerdasan emosional
itu agar memperoleh dan menikmati hidup yang sehat, bahagia, dan berhasil di
segala bidang kehidupan ini. Meskipun demikian, kita tidak bisa mengenal diri
kita secara penuh atau total, tetapi kita harus berusaha menuju jalan atau cara
yang bisa membuat kita lebih mengetahui dan memahami EQ itu sendiri. Hal ini
dengan maksud untuk menampilkan dan menguatkan perilaku kita yang positif
(kelebihan dan keunggulan kita) serta menutupi dan mengaburkan perilaku kita
yang negatif (kelemahan dan kejelekan kita).
D. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual atau yang biasa
dikenal dengan SQ (Spiritual Quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu
seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
SQ merupakan fasilitas yang membantu
seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri
utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan
pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna.
Kecerdasan spiritual yang berkembang
dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel
dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang
tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran
yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi
dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada
akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya.
E. Kecerdasan Ganda
Pada tahun 1983, Dr. Howard
Gardner dari Harvard University Amerika Serikat mengembangkan suatu
kriteria jamak untuk mengukur intelegensi manusia. Gardner berpendapat
bahwa, kecerdasan yang dimiliki seseorang terdiri dari berbagai bentuk
kecerdasan, bukan kecerdasan tunggal. Dan teori tentang kecerdasan jamak
tersebut disebut dengan multiple intelligences. Multiple intelligences adalah
sebuah penilaian yang melihat secara deskriptif bagaimana individu menggunakan
berbagai kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan sesuatu.
Di dalam teori multiple
intelligences, Dr. Howard Gardner membagi kecerdasan manusia dalam 8 jenis
kecerdasan, yaitu :
- Kecerdasan
Linguistik adalah kemampuan untuk membaca, menulis
dan berkomunikasi. Anak-anak dengan kemampuan
linguistik di atas rata-rata, tidak akan memiliki kesulitan dalam
berbahasa, baik verbal maupun tulisan.
- Kecerdasan
Logis-Matematis adalah kemampuan untuk menganalisa masalah secara
logis, dan sistematis, menemukan atau menciptakan rumus-rumus atau pola
matematika dan menyelidiki sesuatu secara ilmiah.
- Kecerdasan
Visual-Spasial adalah kemampuan untuk berpikir melalui gambar,
memvisualisasikan hasil masa depan, mengimajinasikan sesuatu dengan
penglihatan. Kecerdasan jenis ini memungkinkan orang membayangkan
bentuk geometri atau tiga dimensi dengan lebih mudah.
- Kecerdasan
Musikal adalah kemampuan untuk mengkomposisikan musik, menyanyi dan
menghargai musik serta memiliki kepekaan terhadap irama. Anak-anak
dengan kecerdasan musikal yang menonjol tampak dari kemampuan mereka untuk
mengenali dan mengingat nada-nada dengan mudah.
- Kecerdasan
Kinestetis-Badan adalah kemampuan untuk menggunakan badan secara
terampil. Anak-anak dengan kecerdasan jenis ini, secara alamiah
memiliki tubuh yang atletis dan memiliki ketrampilan fisik.
- Kecerdasan
Interpersonal adalah kemampuan untuk bisa memahami dan berkomunikasi
dengan orang lain, serta melihat perbedaan orang lain dari segi suasana
hati, temperamen dan motivasi. Kecerdasan Interpersonal
adalah kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan orang lain, memiliki
empati dan pengertian, menghayati motivasi dan tujuan seseorang.
- Kecerdasan
Intrapersonal merupakan kemampuan seseorang untuk memahami diri
sendiri, mengetahui siapa dirinya, apa yang dapat ia lakukan, apa yang
ingin ia lakukan, bagaimana reaksi diri sendiri terhadap suatu situasi,
dan memahami situasi seperti apa yang sebaiknya ia hindari serta
mengarahkan dan mengintrospeksi diri.
- Kecerdasan
Naturalis adalah kemampuan untuk merasakan bentuk-bentuk serta
menghubungkan elemen-elemen yang ada di alam.
Individu-individu dengan kecerdasan naturalis yang tinggi sangat berminat
pada lingkungan bumi dan spesies.
2. Kepribadian & Temperamen
A. Kepribadian
Menurut Horton (1982:12), pengertian
kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi, dan temperamen
seseorang. Sikap, perasaan, ekspresi, dan temperamen itu akan terwujud dalam
tindakan seseorang jika dihadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang
mempunyai kecenderungan berprilaku yang baku, atau berpola dan konsisten, sehingga
menjadi ciri khas pribadinya. Sedangkan pengertian kepribadian menurut Schaefer
dan Lamm (1998:97) adalah sebagai keseluruhan pola sikap, kebutuhan, ciri-ciri
khas, dan perilaku seseorang. Pola berarti sesuatu yang sudah menjadi standar
atau baku, berlaku terus-menerus secara konsisten dalam menghadapi situasi yang
dihadapi. Pola perilaku dengan demikian juga merupakan perilaku yang sudah
baku, yang cenderung ditampilkan seseorang jika ia dihadapkan pada situasi
kehidupan tertentu. Orang yang pada dasarnya pemalu cenderung menghindarkan
diri dari kontak mata dengan lawan bicaranya.
Menurut Purwanto (2006) terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian antara lain:
a.
Faktor Biologis
Faktor
biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani, atau
seringkali pula disebut faktor fisiologis seperti keadaan genetik, pencernaan,
pernafasaan, peredaran darah, kelenjar-kelenjar, saraf, tinggi badan, berat
badan, dan sebagainya. Keadaan fisik tersebut memainkan peranan yang penting
pada kepribadian seseorang.
b.
Faktor Sosial
Faktor
sosial yang dimaksud di sini adalah masyarakat, yakni manusia-manusia lain
disekitar individu yang bersangkutan. Termasuk juga kedalam faktor sosial
adalah tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa, dan
sebagainya yang berlaku dimasyarakat itu.
Pengaruh
lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak sejak kecil adalah sangat
mendalam dan menentukan perkembangan pribadi anak selanjutnya. Hal ini
disebabkan karena pengaruh itu merupakan pengalaman yang pertama, pengaruh yang
diterima anak masih terbatas jumlah dan luasnya, intensitas pengaruh itu sangat
tinggi karena berlangsung terus menerus, serta umumnya pengaruh itu diterima
dalam suasana bernada emosional. Kemudian semakin besar seorang anak maka pengaruh
yang diterima dari lingkungan sosial makin besar dan meluas. Ini dapat
diartikan bahwa faktor sosial mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan
pembentukan kepribadian.
c.
Faktor Kebudayaan
Perkembangan
dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing orang tidak dapat
dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan.
Beberapa aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan
kepribadian antara lain: Nilai-nilai (Values), adat dan tradisi, pengetahuan
dan keterampilan, bahasa, dan milik kebendaan (material possession).
B. Temperamen
Menurut Allport (1937) temperamen
adalah gejala karakteristik daripada sifat emosi individu, termasuk juga
mudah-tidaknya terkena rangsangan emosi, kekuatan serta kecepatannya bereaksi,
kualitas kekuatan suasana hatinya, segala cara daripada fluktuasi dan
intensitas suasana hati. Gejala ini bergantung pada faktor konstitusional, dan
karenanya terutama berasal dari keturunan.
Menurut G. Edwald mengartikan
temperamen adalah konstitusi psikis yang berhubungan dengan konstitusi jasmani.
Di sini peranan keturunan memainkan peranan penting, sedangkan pengaruh
pendidikan dan lingkungan tidak ada. Dalam kaitan dengan watak, G. Ewald lebih
melihat temperamen sebagai yang tetap seumur hidup, yang tak mengalami
perkembangan, karena temperamen bergantung pada konstelasi hormon-hormon,
sedangkan konstelasi hormon-hormon itu tetap selama hidup.
Temperamen menurut Santrock (2009),
temperamen adalah gaya prilaku dan cara khas pemberian respons seseorang.
Menurut Chaplin (1995) temperamen
adalah totalitas terorganisir dari kecenderungan-kecenderungan psikofisik
individu untuk mereaksi dengan satu cara tertentu.
Menurut LaHaye (1999), temperamen
adalah kombinasi pembawaan yang diwarisi dari orang tua dan tanpa sadar
mempengaruhi tingkah laku manusia.
Sujanto (1993) menjelaskan bahwa
temperamen berasal dari kata temper yang berarti campuran. Temperamen adalah
sifat seseorang yang disebabkan adanya campuran-campuran zat di dalam tubuhnya
yang juga mempengaruhi tingkah laku orang tersebut. Jadi temperamen berarti
sifat laku jiwa dalam hubungannya dengan sifat kejasmanian. Temperamen juga
merupakan sifat-sifat yang tetap dan tidak dapat di didik.
Menurut LaHaye (1999), Temperamen
adalah kombinasi pembawaan yang diwarisi dari orang tua dan tanpa sadar
mempengaruhi tingkah laku manusia. Selanjutnya dikatakan pula temperamen
menetapkan garis pedoman yang tegas atas tingkah laku setiap orang pola yang
akan mempengaruhi seseorang selama hidup.
Menurut Chaplin (1995) Temperamen
adalah disposisi reaktif seseorang. Pengertian disposisi dalam hal ini adalah
totalitas terorganisir dari kecenderungan-kecenderungan psikofisik individu
untuk mereaksi dengan satu cara tertentu. Selain itu disposisi dapat diartikan
sebagai sifat-sifat yang realitif terus-menerus atau menerangkan kualitas yang
menetap dan konsekuen dari tingkah laku.
Corsini (2002) Mengemukakan dua
definisi dari temperamen. Pertama, temperamen didefinisikan sebagai pola dasar
dari reaksi-reaksi individu yang meliputi karakteristik-karakteristik seperti
tingkat energy umum, perubahan emosi, dan intensitas serta tempo dari
respon-respon. Kedua dengan mempertimbangkan sebuah ciri dasar psikologi,
temperamen dikatakan mengarah pada suasana hati seseorang.
Adapun jenis- jenis temperamen ialah
:
1.
Sanguine
Seseorang yang memiliki tipe sanguine adalah orang yang ramah dan hangat,
berusaha menyenangkan hati orang lain, supel dalam bergaul, kehadirannya
meramaikan suasana, mudah tertawa tapi mudah pula terharu. Tetapi orang jenis
ini punya kekurangan, seperti sembrono, sering berbohong/membual, kurang bisa
diandalkan dalam melaksanakan tanggung jawabnya, kurang berpikir panjang,
kurang tekun, jika dimarahi dia akan menangis tersedu-sedu tetapi ia akan
langsung melupakannya.
2.
Melankolis
Seseorang yang memiliki tipe melankolis ini adalah orang yang tekun dalam
melakukan sesuatu, berbakat, perfeksionis, suka yang indah-indah, setia,
biasanya tanpa disuruh dia akan langsung mengerjakan tugasnya, sangat menjaga
barang pribadi, hanya dengan disindir saja dia sudah langsung tahu letak
kesalahannya dan berusaha untuk memperbaikinya. Tapi orang jenis ini sangat
perasa dan cenderung pemurung, sangat sensitif dan mudah tersinggung, kata-kata
kasar yang dituju padanya akan sangat melukai hatinya dan sulit untuk dia
lupakan, cenderung pendendam dan menarik diri dari lingkungan luar serta
mengasihani diri sendiri.
3.
Kolerik
Seseorang yang mempunyai temperamen jenis ini merupakan orang yang
berkemauan keras, berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (ambisius),
mandiri, punya rasa percaya diri yang kuat, suka menjadi pemimpin, aktif dan
produktif. Tapi orang jenis ini cenderung keras kepala, cenderung ingin menjadi
dominan di antara teman-temannya, cenderung bertindak agresif, dan cenderung
menentang otoritas pemimpin secara terang-terangan.
4.
Flegmatik
Berasal dari kata flegma yang artinya ketidakacuhan atau sikap dingin yang
apatis dan menjemukan. Keseluruhan sifat ini tampaknya kebalikan dari kolerik.
Orang dengan tipe ini adalah orang yang cinta ketenangan dan kedamaian,
pendiam, tidak rewel, penurut, easy going, dan tidak banyak menuntut. Tapi
orang jenis ini terkesan lamban, pasif, kurang motivasi, egois, pelit, tidak
menyerang otoritas pemimpin secara terang-terangan, tapi sebenarnya dia keras
kepala juga dan cenderung sembunyi-sembunyi untuk tidak mematuhi peraturan.
Banyak orang yang menganggapnya sebagai pemalas karena sifat dasarnya yang
sangat santai dan kurang berambisi.
3. Status Sosial Ekonomi
Status ekonomi adalah kelompok orang
berdasarkan karakteristik ekonomi, individual, dan pekerjaannya. Kelas sosial
menunjukkan lebih dari sekedar tingkat penghasilan dan pendidikan. Bersama
kelas sosial terdapat seperangkat perilaku, harapan, dan sikap yang ditemukan
dimana-mana, yang saling bersinggungan dengan dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor budaya lainnya. Asal kelas sosial siswa mempunyai efek yang
sangat besar terhadap sikap dan perilaku di sekolah.
4. Kultur
Kultur adalah pola perilaku,
keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari
generasi ke generasi lainnya.
Etnisitas adalah pola umum
karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa.
Kultur sangat mempengaruhi
pengajaran dan pembelajaran. Banyak aspek budaya mempunyai andil bagi identitas
dan konsep diri pelajar dan mempengaruhi keyakinan dan nilai, sikap, dan
harapan, hubungan sosial, penggunaan bahasa, dan perilaku lain pelajar.
B. Gaya Belajar
1. Pengertian Gaya Belajar
Setiap manusia yang
lahir ke dunia ini selalu berbeda satu sama lainnya. Baik bentuk fisik, tingkah
laku, sifat, maupun berbagai kebiasaan lainnya. Tidak ada satupun manusia yang
memiliki bentuk fisik, tingkah laku dan sifat yang sama walaupun kembar
sekalipun. Suatu hal yang perlu kita ketahui bersama adalah bahwa setiap
manusia memiliki cara menyerap dan mengolah informasi yang diterimanya dengan
cara yang berbeda satu sama lainnya. Ini sangat tergantung pada gaya
belajarnya. “Seperti yang dijelaskan oleh Hamzah B. Uno, “bahwa pepatah
mengatakan lain ladang, lain ikannya. Lain orang, lain pula gaya belajarnya.
Peribahasa tersebut memang pas untuk menjelaskan fenomena bahwa tak
semua orang punya gaya belajar yang sama. Termasuk apabila mereka bersekolah
disekolah yang sama atau bahkan duduk dikelas yang sama”.
Berdasarkan Sukadi, bahwa “gaya belajar
yaitu kombinasi antara cara seseorang dalam menyerap pengetahuan dan cara
mengatur serta mengolah informasi atau pengetahuan yang didapat.” Sedangkan
menurut S. Nasution, “gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan
oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat,
berpikir, dan memecahkan soal.”
Menurut DePorter & Hernacki, “gaya
belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana ia menyerap, dan kemudian
mengatur serta mengolah informasi.”
Menurut Fleming dan Mills, “gaya belajar
merupakan kecenderungan siswa untuk mengadaptasi strategi tertentu dalam
belajarnya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mendapatkan satu pendekatan
belajar yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas/sekolah maupun tuntutan
dari mata pelajaran.”
Willing mendefinisikan,
“gaya belajar sebagai kebiasaan belajar yang disenangi oleh pembelajar. Keefe
memandang gaya belajar sebagai cara seseorang dalam menerima, berinteraksi, dan
memandang lingkungannya.”
Adapun gaya belajar yang dimaksud dalam
disini adalah cara siswa mempelajari materi yang didasarkan pada gaya belajar
yang mereka miliki yaitu: gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik.
Menurut Bobby De Porter
& Mike Hernacki, gaya belajar seseorang adalah kunci untuk mengembangkan
kinerja dalam pekerjaan, disekolah, dan dalam situasi antar pribadi.
Rina Dunn, seorang pelopor di bidang
gaya belajar, telah menemukan banyak variabel yang mempengaruhi cara belajar
orang. Ini mencakup faktor- faktor fisik, emosional, sosiologis, dan
lingkungan. Sebagian orang, misalnya, dapat belajar paling baik dengan cahaya
yang terang, sedang sebagian yang lain dengan pencahayaan yang suram. Ada orang
yang belajar paling baik secara berkelompok, sedang yang lain lagi memilih
adanya figur otoriter seperti orang tua atau guru, yang lain merasa bahwa
bekerja sendirilah yang paling efektif bagi mereka. Sebagian orang memerlukan
musik sebagai latar belakang, sedang yang lain tidak dapat berkonsentrasi
kecuali dalam ruangan sepi. Ada orang-orang yang memerlukan lingkungan kerja
yang teratur dan rapi, tetapi yang lain lebih suka menggelar segala sesuatunya
supaya semua dapat terlihat.
Walaupun masing-masing
peneliti menggunakan istilah yang berbeda dan menemukan berbagai cara untuk
mengatasi gaya belajar seseorang, telah disepakati secara umum adanya dua
kategori utama tentang bagaimana kita belajar. Pertama, bagaimana kita
menyerap informasi dengan mudah (modalitas) dak kedua, cara kita
mengatur dan mengolah informasi tersebut (dominasi otak). Selanjutnya, jika
seseorang telah akrab dengan gaya belajarnya sendiri, maka dia dapat membantu
dirinya sendiri dalam belajar lebih cepat dan lebih mudah.
Levie & Levie yang
membaca kembali hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui stimulus gambar
dan stimulus kata atau visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual
membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat,
mengenali, mengingat kembali dan menghubungkan fakta dan konsep. Baugh dan Achsin
memiliki pandangan yang searah mengenai hal itu. Perbandingan memperoleh hasil
belajar melalui indra pandang dan indra dengar sangat menonjol perbedaannya
kurang lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indra pandang
(visual), dan hanya sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar (auditorial),
dan 5% lagi dengan indera lainnya (kinestetik). Sementara itu, Dale
memperkirakan bahwa perolehan hasil belajar melalui indera pandang (visual)
berkisar 75%, melalui indera dengar (auditorial) sekitar 13% dan melalui indera
lainnya (termasuk dalam kinestetik) sekitar 12%.
Seluruh definisi gaya
belajar di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki
kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya. Definisi-definisi gaya belajar
tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi. Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa gaya
belajar yaitu suatu cara pandangan pribadi terhadap peristiwa yang dilihat dan
di alami. Oleh karena itulah pemahaman, pemikiran, dan pandangan seorang anak
dengan anak yang lain dapat berbeda, walaupun kedua anak tersebut tumbuh pada
kondisi dan lingkungan yang sama, serta mendapat perlakuan yang sama.
2.
Macam-macam Gaya Belajar
Menurut Bobbi De Poter
& Mike Hernacki secara umum gaya belajar manusia dibedakan ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya
belajar kinestetik.
a.
Gaya Belajar Visual
Menurut Bobbi De Poter
& Mike Hernacki yang dikutip oleh Sukadi, berdasarkan arti katanya, Gaya
belajar visual adalah gaya belajar dengan cara melihat, mengamati, memandang,
dan sejenisnya. Kekuatan gaya belajar ini terletak pada indera penglihatan.
Bagi orang yang memiliki gaya ini, mata adalah alat yang paling peka untuk
menangkap setiap gejala atau stimulus (rangsangan) belajar.
Orang dengan gaya
belajar visual senang mengikuti ilustrasi, membaca instruksi, mengamati
gambar-gambar, meninjau kejadian secara langsung, dan sebagainya. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap pemilihan metode dan media belajar yang dominan
mengaktifkan indera penglihatan (mata). Gaya belajar visual adalah gaya belajar
dengan cara melihat sehingga mata sangat memegang peranan penting. Gaya belajar
secara visual dilakukan seseorang untuk memperolah informasi seperti melihat gambar,
giagram, peta, poster, grafik, dan sebagainya. Bisa juga dengan melihat data
teks seperti tulisan dan huruf.
Seorang yang bertipe
visual, akan cepat mempelajari bahan-bahan yang disajikan secara tertulis,
bagan, grafik, gambar. Pokoknya mudah mempelajari bahan pelajaran yang dapat
dilihat dengan alat penglihatannya. Sebaliknya merasa sulit belajar apabila
dihadapkan bahan-bahan bentuk suara, atau gerakan.
Dari beberapa
pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa orang yang menggunakan gaya
belajar visual memperoleh informasi dengan memanfaatkan alat indera mata. Orang
dengan gaya belajar visual senang mengikuti ilustrasi, membaca instruksi,
mengamati gambar-gambar, meninjau kejadian secara langsung, dan sebagainya.
b.
Gaya Belajar Auditorial
Gaya belajar auditorial
adalah gaya belajar dengan cara mendengar. Orang dengan gaya belajar ini, lebih
dominan dalam menggunakan indera pendengaran untuk melakukan aktivitas belajar.
Dengan kata lain, ia mudah belajar, mudah menangkap stimulus atau rangsangan
apabila melalui alat indera pendengaran (telinga). Orang dengan gaya belajar
auditorial memiliki kekuatan pada kemampuannya untuk mendengar.
Oleh karena itu, mereka
sangat mengandalkan telinganya untuk mencapai kesuksesan belajar, misalnya
dengan cara mendengar seperti ceramah, radio, berdialog, dan berdiskusi. Selain
itu, bisa juga mendengarkan melalui nada (nyanyian/lagu).
Anak yang bertipe
auditorial, mudah mempelajari bahan-bahan yang disajikan dalam bentuk suara
(ceramah), begitu guru menerangkan ia cepat menangkap bahan pelajaran,
disamping itu kata dari teman (diskusi) atau suara radio/casette ia mudah
menangkapnya. Pelajaran yang disajikan dalam bentuk tulisan, perabaan,
gerakan-gerakan yang ia mengalami kesulitan.
Dari beberapa
pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa orang yang menggunakan gaya
belajar Auditorial memperoleh informasi dengan memanfaatkan alat indera
telinga. Untuk mencapai kesuksesan belajar, orang yang menggunakan gaya belajar
auditorial bisa belajar dengan cara mendengar seperti ceramah, radio,
berdialog, dan berdiskusi.
c. Gaya
belajar Kinestetik
Gaya belajar kinestetik
adalah gaya belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh. Maksudnya
ialah belajar dengan mengutamakan indera perasa dan gerakan-gerakan fisik. Orang
dengan gaya belajar ini lebih mudah menangkap pelajaran apabila ia bergerak,
meraba, atau mengambil tindakan. Misalnya, ia baru memahami makna halus apabila
indera perasanya telah merasakan benda yang halus.
Individu yang bertipe
ini, mudah mempelajari bahan yang berupa tulisan-tulisan, gerakan-gerakan, dan
sulit mempelajari bahan yang berupa suara atau penglihatan. Selain itu, belajar
secara kinestetik berhubungan dengan praktik atau pengalaman belajar secara
langsung.
Dari pengertian di atas dapat di ambil
kesimpulan bahwa orang yang menggunakan gaya belajar kinestetik memperoleh
informasi dengan mengutamakan indera perasa dan gerakan-gerakan fisik. Individu
yang mempunyai gaya belajar kinestetik mudah menangkap pelajaran apabila ia
bergerak, meraba, atau mengambil tindakan. Selain itu dengan praktik atau
pengalaman belajar secara langsung.
3.
Ciri-ciri Gaya Belajar
Pada dasarnya, dalam
diri setiap manusia terdapat tiga gaya belajar. Akan tetapi ada di antara gaya
belajar yang paling menonjol pada diri seseorang. Disini peneliti membahas tiga
ciri gaya belajar, yaitu ciri gaya belajar Visual, Auditorial dan Kinestetik.
a. Ciri-ciri yang menonjol dari mereka yang
memiliki tipe gaya belajar
Visual:
1)
Senang kerapian dan ketrampilan.
2)
Jika berbicara cenderung lebih cepat.
3)
Ia suka membuat perencanaan yang matang
untuk jangka panjang.
4)
Sangat teliti sampai ke hal-hal yang
detail sifatnya.
5)
Mementingkan penampilan, baik dalam
berpakaian maupun presentasi.
6)
Lebih mudah mengingat apa yang di lihat,
dari pada yang di dengar.
7)
Mengingat sesuatu dengan penggambaran
(asosiasi) visual.
8)
Ia tidak mudah terganggu dengan
keributan saat belajar (bisa membaca dalam keadaan ribut sekali pun).
9)
Ia adalah pembaca yang cepat dan tekun.
10)
Lebih suka membaca sendiri dari pada dibacakan
orang lain.
11)
Tidak mudah yakin atau percaya terhadap
setiap masalah atau proyek sebelum secara mental merasa pasti.
12)
Suka mencoret-coret tanpa arti selama
berbicara di telepon atau dalam rapat.
13)
Lebih suka melakukan pertunjukan
(demonstrasi) dari pada berpidato.
14)
Lebih menyukai seni dari pada musik.
15)
Sering kali mengetahui apa yang harus
dikatakan, akan tetapi tidak pandai memilih kata-kata.
16)
Kadang-kadang suka kehilangan
konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.
Ciri-ciri bahasa tubuh yang menunjukkan
seseorang gaya belajar Visual yaitu biasanya duduk tegak dan mengikuti penyaji dengan
matanya.
b. Ciri-ciri
yang menonjol dari mereka yang memiliki tipe gaya belajar Auditorial:
1)
Saat bekerja sering berbicara pada diri
sendiri.
2)
Mudah terganggu oleh keributan atau
hiruk pikuk disekitarnya.
3)
Sering menggerakkan bibir dan
mengucapkan tulisan dibuku ketika membaca.
4)
Senang membaca dengan keras dan
mendengarkan sesuatu.
5)
Dapat mengulangi kembali dan menirukan
nada, birama, dan warna suara dengan mudah.
6)
Merasa kesulitan untuk menulis tetapi
mudah dalam bercerita.
7)
Biasanya ia adalah pembicara yang fasih.
8)
Lebih suka musik dari pada seni yang
lainnya.
9)
Lebih mudah belajar dengan mendengarkan
dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat.
10) Suka
berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar.
11) Lebih
pandai mengeja dengan keras dari pada menuliskannya.
Ciri-ciri bahasa tubuh yang menunjukkan
seseorang gaya belajar Auditorial yaitu sering mengulang dengan lembut
kata-kata yang di ucapkan penyaji, atau sering menggunakan kepalanya saat
fasilitator menyajikan informasi lisan. Pelajar tipe ini sering “memainkan
sebuah kaset dalam kepalanya” saat ia mencoba mengingat informasi. Jadi,
mungkin ia akan memandang ke atas saat ia melakukannya.
c. Ciri-ciri
yang menonjol dari mereka yang memiliki tipe gaya belajar kinestetik:
1)
Berbicara dengan perlahan.
2)
Menyentuh orang untuk mendapatkan
perhatian mereka.
3)
Berdiri dekat ketika berbicara dengan
orang.
4)
Selalu berorientasi dengan sifik dan
banyak bergerak.
5)
Menghafal dengan cara berjalan dan
melihat.
6)
Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika
membaca.
7)
Banyak menggunakan isyarat tubuh.
8)
Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama.
9)
Memungkinkan tulisannya jelek.
10)
Ingin melakukan segala sesuatu.
11)
Menyukai permainan yang menyibukkan.
Ciri-ciri bahasa tubuh yang menunjukkan
seseorang gaya belajar Kinestetik yaitu sering memnunduk saat ia mendengarkan.
4.
Strategi Untuk Mempermudah Gaya
Belajar
a. Strategi
untuk mempermudah gaya belajar Visual:
Secara sederhana kita dapat menyesuaikan cara
mengajar kita dengan gaya belajar siswa, di antaranya untuk siswa visual :
1)
Gunakan kertas tulis dengan tulisan
berwarna dari pada papan tulis. Lalu gantunglah grafik berisi informasi penting
di sekeliling ruangan pada saat anda menyajikannya, dan rujuklah kembali grafik
itu nanti.
2)
Dorong siswa untuk menggambarkan
informasi, dengan menggunakan peta, diagram, dan warna. Berikan waktu untuk
membuatnya.
3)
Berdiri tenang saat penyajikan segmen
informasi, bergeraklah diantara segmen.
4)
Bagikan salinan frase-frase kunci atau
garis besar pelajaran, sisakan ruang kosong untuk catatan.
5)
Beri kode warna untuk bahan pelajaran
dan perlengkapan, dorong siswa menyusun pelajaran mereka dengan aneka warna.
6)
Gunakan bahan ikon dalam presentasi
anda, dengan mencipkan simbol visual atau ikon yang mewakili konsep kunci.
b. Strategi
untuk mempermudah gaya belajar auditorial :
Secara
sederhana kita dapat menyesuaikan cara mengajar kita dengan gaya belajar siswa,
di antaranya untuk siswa auditorial adalah :
1) Gunakan
variasi vokal (perubahan nada, kecepatan, dan volume) dalam presentasi.
2) Ajarkan
sesuai dengan cara anda menguji : jika anda menyajikan informasi delam urutan
atau format tertentu, ujilah informasi itu dengan cara yang sama.
3) Gunakan
pengulangan, minta siswa menyebutkan kembali konsep kunci dan petunjuk.
4) Setelah
tiap segmen pengajaran, minta siswa memberitahu teman di sebelahnya satu hal
yang dia pelajari.
5) Nyanyikan
konsep kunci atau minta siswa mengarang lagu/rap mengenai konsep itu.
6) Kembangkan
dan dorong siswa untuk memikirkan jembatan keledai untuk menghafal konsep
kunci.
7)
Gunakan musik sebagai aba-aba untuk
kegiatan rutin.
c. Strategi untuk mempermudah gaya belajar
kinestetik :
Secara
sederhana kita dapat menyesuaikan cara mengajar kita dengan gaya belajar siswa,
di antaranya untuk siswa kinestetik adalah :
1) Gunakan
alat bantu saat mengejar untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan menekankan
konsep-konsep kunci.
2) Ciptakan
simulasi konsep agar siswa mengalaminya.
3) Jika
bekerja dengan siswa perseorangan, berikan bimbingan paralel dengan duduk di
sebelah mereka, bukan di depan atau belakang mereka.
4) Cobalah
berbicara dengan setiap siswa secara pribadi setiap hari, sekalipun hanya salam
kepada para siswa saat mereka masuk atau “ibu senang kamu berpartisipasi” atau
mereka keluar kelas
5) Peragakan
konsep sambil memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajarinya langkah
demi langkah.
6) Ceritakan
pengalaman pribadi mengenai wawasan belajar anda kepada siswa, dan dorong
mereka untuk melakukan hal yang sama.
7) Izinkan
siswa berjalan-jalan di kelas jika situasi memungkinkan.
Menurut Rose dan Nichole “setiap orang
belajar dengan cara berbeda-beda, dan
semua cara sama
baiknya”. Setiap cara mempunyai kekuatan sendiri-sendiri,
namun dalam kenyataannya kita semua memiliki ketiga gaya belajar itu, hanya
saja biasanya satu gaya mendominasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penulisan
makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa keragaman siswa dapat diketahui
melalui kecerdasannya. Kecerdasan siswa terbagi dalam bentuk kecerdasan ganda
atau kecerdasan majemuk yang didalamnya juga didampingi dengan kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual. Indikator yang mempengaruhi seperti
kepribadian & temperamen, status sosial ekonomi, serta kultur dan gaya
belajar juga merupakan faktor penting dalam pembentukan keragaman siswa.
Adapun gaya
belajar yang dipaparkan di makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
perkembangan peserta didik dalam membentuk kecerdasannya. Melalui gaya belajar
tersebut guru dapat menganalisa keragaman yang terjadi didalam kelas selama
proses belajar berlangsung. Karena, seperti yang dijelaskan didalam makalah ini
bahwa, faktor yang menentukan kesuksesan seseorang bukan hanya faktor
intelegensi semata. Oleh sebab itu, dengan menerapkan gaya belajar disini guru
dapat mengetahui potensi-potensi yang ada dalam diri peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Jasmine Julia M.A. (2007). Mengajar
Dengan Metode Kecerdasan Majemuk: implementasi multiple intelligences, Bandung
: Nuansa.
Murdoko, E. Widijo Hari S.Psi.(2008).
Memaksimalkan Potensi Anak ( Katahui dan Arahkan Bakat Anak Anda) , Yogyakarta
: Pelangi.
http://tamanrumputilalang.blogspot.co.id/2013/12/keberagaman-peserta-didik-dalam-belajar.html
(di akses pada 30-10-2016)
0 komentar:
Posting Komentar